This awesome blogger theme comes under a Creative Commons license. They are free of charge to use as a theme for your blog and you can make changes to the templates to suit your needs.
RSS

cerita pendek



Jalan Hidup si Neneng


            Senja itu disaat sang surya mulai menyembunyikan sinarnya. Alunan penghuni rimbunan bambu nyaring menemani setiap langkah yang tak dihiraukan karena ia hanya memikirkan pembicaraan yang tidak sengaja ia dengar dari lubang anyaman bambu dibalik kamarnya.
            “Tapi pak, kita tidak bisa memaksakan Neneng mengikuti kehendak sampean dan juga tradisi keluarga sampean”, terdengar suara bentakan Bu Siti membela anaknya di ruang tamu yang tidak sengaja terdengar oleh Neneng dari balik kamarnya. Tanpa memutar otak segera Neneng bangkit dan pergi berlalu di balik pintu rumahnya.
            Perdebatan itu tetap menganggu pikiranya hingga ia tak menyadari ia telah sampai dipinggir sungai Bengawan Solo. “Kenapa ! kenapa harus menari !”, teriak Neneng dipinggir sungai Bengawan Solo yang sunyi dan tenang seperti riak air yang mengalir tenang.
            Batinya terasa dicambuk setiap sang ayah membicarakan masa depan dan tradisi di silsilah keluarga ayahnya yang mengharuskan anak gadisnya menjadi penari jawa tradisional, yang berlawanan dengan angan dan impianya untuk menjadi dokter dan kembali untuk memajukan desa dan keluarganya.
            Ditengah tangisnya ia tidak menyadari ada seseorang yang sejak tadi memperhatikanya. “Kenapa kamu menangis nak? Apa masalahmu?”, terdengar suara laki-laki tua yang bijaksana duduk disampingnya. Sesegera mungkin Neneng menghapus air matanya dan melihat sosok laki-laki tua yang duduk disampingnya itu. Beliau terliha tenang, bijak, dapat di percaya dan pastinya beliau adalah orang baik-baik.
            “Kenapa kamu menangis? Apakah kamu mau bercerita pada bapak tentang masalahmu? Mungkin bapak bisa membantu”, tanya ramah dan penuh senyum laki-laki tua itu yang ternyata bernama Bahrudin, tersurat dari nama dada yang terpasang di jas rapi yang ia gunakan. Tanpa sadar Neneng mulai menceritakan kronologis sebab ia menangis di pinggir sungai Bengawan Solo.
            “Sudahlah, coba kamu bicara dengan orang tuamu dengan cara yang halus dan otak dingin, sehingga ayahmu bisa memahami apa yang kamu inginkan, dan jikamemang ayahmu tetap pada pendirianya, turutilah pasti itu yang terbaik. Namun jika ada waktu senggang, usulkan pada ayahmu bahwa kamu juga ingin menggapai cita-citamu sebagai dokter.”, tutur Pak Bahrudin menanggapi curahan hati Neneng.
            Perbincangan singkat dan penuh pelajaran hidup itu berakhir ketika jam di tangan Neneng menunjukkan pukul 20.30 malam dan mereka berpisah dengan saling menjabat tangan. Pertemuaan singkat yang telah memberikan perubahan pada kondisi Neneng yang menjadi tenang dan dewasa.
           
            Setibanya Neneng diteras rumahnya terdengar perdebatan antara Bu Siti dan suaminya yang tetap mempermasalahkan hal yang sama. Tok, tok, tok “Assalamualaikum neneng pulang”, ucap Neneng setiba dirumah dan segera duduk diruang tamu. Seketika suasana menjadi hening dan membisu setelah kedatangan Neneng.

            Neneng mulai membuka pembicaraan “pak, buk, Neneng minta maaf sebelumnya atas sikap Neneng yang memberontak dan menolak keinginan bapak untuk meneruskan tradisi keluarga bapak menjadi penari jawa, Neneng akan menuruti keinginan bapak, namun jika bapak mengijinkan  Neneng juga ingin meneruskan kuliah dan meraih gelar sarjana kedokteran, Neneng berjanji akan membagi waktu dengan baik, namun jika bapak mengijinkan”, jelas Neneng dengan lugas dan sopan kepada kedua orang tuanya. Seketika itu luluhlah hati ayahnya dengan permohonan Neneng.
            “Baiklah anakku, tanggung jawabmu adalah mengikuti pelatihan tari jawa, dan bapak ijinkan untuk meneruskan kuliah, apabila sampean tidak konsisten maka kuliahmu harus berhenti”, tutur bapak. Setelah kesepakatan itu dibuat, Neneng menjalani keseharianya dengan membagi waktu dengan baik.
            7 tahun kemudian.
            “Ini obatnya, dan diminum sehari 3 kali sesudah makan”.
            “Terimakasih bu Dokter”, jawab seorang ibu di Puskesmas.
“Jika saya tidak salah, apakah ibu dokter penari yang kemarin tampil di televisi?”, tanya si pasien ibu tadi.
“Oh. . iya bu, saya pikir saya lebih dikenal sebagai dokter”, jawab Neneng dengan rasa sungkan.
Begitulah sekarang hidup Neneng. Dia bisa melaksanakan tradisi keluarga ayahnya dan juga dia bisa menggapai cita-citanya.

0 komentar:

Posting Komentar